about us
 
contact us
 
login
 
newsletter
 
facebook
 
 
home hongkong beijing shanghai taipei tokyo seoul singapore
more cities
search     
art in more cities   |   galleries   |   artists   |   artworks   |   events   |   art institutions   |   art services   |   art scene

Enlarge
Ransomed Identity
by Langgeng Gallery
Location: Langgeng Gallery
Date: 18 Jan - 16 Feb 2009

Karya-karya yang anda temui pada pameran ini adalah karya-karya yang dipenuhi visualisasi tengkorak, spirit punk, underground, street art, dan nuansa ilustratif. Sebuah ciri yang berbeda dengan tradisi melukis sebelumnya di Jogjakarta dan bahkan Indonesia. Apakah mengada-ada kalau kita menemukan corak visual yang ‘berbeda’ dari anak-anak muda generasi ini? Apakah layak kalau kita menggeneralisasi mereka dalam satu sebutan seniman berciri ’juxtapose’? Generalisasi seperti itu wajar ditempatkan pada mereka sekarang, mengingat bahwa pada akhir-akhir ini karya-karya seperti ini tiba-tiba menyeruak ke permukaan seni rupa kontemporer di Indonesia. Tidak saja beberapa kali pamerannya berturut-turut dilangsungkan, tetapi juga pasar yang menerima kehadiran karya-karya ‘aneh’ini. Berikut ini kita akan menyimak bagaimana tiga orang seniman rupa yang berkecendrungan seperti itu, dan akan coba kita telisik bagaimana ciri kekaryaan mereka muncul. Bagaimana latar belakang pergaulan mereka, ide-ide mereka, dan pandangan mereka terhadap kerja seni mereka. Bagaimana proses kreatif mereka sampai dengan munculnya karya-karya seperti. Kita akan melihat melalui tiga seniman muda yang berpameran di Langgeng Gallery kali ini. Mereka adalah Eko Didyk Sukowati, Gede Krisna Widiathama, dan Sulung Widya Prasastya.

Saya mengenal Eko Didyk Sukowati (Codit) satu paket dengan dua rekannya di kelompok Daging Tumbuh, bersama Wedhar Riyadi dan Eko Nugroho. Walaupun kelompok ini mengklaim bukan hanya bertiga ini anggotanya, tapi ketiga nama inilah yang selalu mampir di kepala saya tiap kali mendengar Daging Tumbuh. Kendati pula sekarang ini nama Eko Nugroho lebih dominan dikaitkan dengan kelompok ini, dikarenakan dialah sang presiden daging Tumbuh, dan terlebih dahulu diterima secara luas di kancah seni Internasional. Daging Tumbuh memberi ruang yang lebar bagi munculnya tradisi menggambar komikal yang lebih bebas dan tanpa takut salah. Lebih dekat dengan tradisi visual sehari-hari maupun hobby, dan tanpa beban-beban yang besar. Codit belajar di ISI Jogjakarta dengan mayor seni lukis. Dengan seri karyanya itu (dia mengerjakan profil-profil pakaian secara flat, disertai motif-motif geometrik maupun organik) Codit hadir secara berbeda dengan kecenderungan mahasiswa seni lukis waktu itu. Karyanya lebih dekat pada desain grafis atau ilustrasi. Waktu itu, karya mahasiswa banyak didominasi oleh tradisi melukis figur manusia, permainan efek di bidang permukaan, kesan minimalis, dan lukisan objek-objek. Dan kebanyakan mahasiswa mengambil idiom seni dari tradisi seni murni sebelumnya, seperti kubisme, ekspresionisme, dan realisme. Codit muncul dengan mengambil idiom yang sama sekali berbeda, dengan ketertarikannya terhadap dunia musik punk. Spirit musik punk dan tradisi visualnya menjadi jalan yang ditempuhnya, yang sampai kini muncul dengan semangat ‘kolase’nya. Typografi pada grup musik Sex Pistol, misalnya, mengambil nuansa ‘tebusan’ pada kasus-kasus penculikan. Mereka mengkolase huruf-huruf dari potongan-potongan majalah atau barang cetakan lainnya untuk memberi kesan penghindaran diri dari jejak si penulisnya (ransom note typography).

Sulung Widya Prasastya (Sulung) membangun imaji robotnya melalui potongan-potongan gambar mekanik, seperti roda, kereta bayi, pesawat, kereta api, penyemprot air, dan mesin-mesin lainnya. Segala hal yang bernuansa mesin dia foto copy, dia potong-potong, lalu dia gabung-gabungkan kembali untuk membentuk citra baru sebentuk robot. Teknik yang digunakan adalah teknik silk screen, yang mampu memindahkan dan menggandakan gambar fotocopyan itu sesuai yang dikehendakinya. Kesan fotocopy tetap dibiarkannya. Dengan bentuk-bentuk robot itu Sulung memainkan cerita-ceritanya.

Gede Krisna Widiathama (Krisna/Gogik)  mengawali karya-karyanya dalam bentuk lukisan seperti sekarang ini, dari rasa jenuh melihat kecenderungan visual di pameran-pameran seni rupa, yang menurutnya “…itu.. itu saja!” (minimalis atau objek-objek). Dalam dirinya, terpikir untuk mencoba membuat lukisan, tetapi dalam koridor yang berbeda, lebih santai, ’fun’, tidak banyak berfikir, dan tetap enak dinikmati. Untuk mendapatkan suasana ‘fun’ itu, Krisna melirik pada hal-hal yang digemarinya. Horror punk, BDSM, gore film, horror, dan kegilaan-kegilaan ekstrim lainnya menjadi daftar yang menurutnya ‘fun’ untuk dijadikan karya. Begitu juga dari spirit bermusik. Dalam bermusik, Krisna cenderung pada jenis-jenis eksperimental, noise, horror punk, dan sejenisnya. Melalui grupnya Black Ribbon, Krisna menyalurkan kegilaannya akan seni bunyi. Semuanya memberi warna gelap dan menyeramkan. Semenjak SMP, Krisna tertarik dengan GoreToon, sebuah tayangan kartun yang bernuansa horror dan gelap. Ketertarikannya dengan kematian, horror, dan sisi-sisi gelap itu berlanjut sampai sekarang. Dari musik, film, animasi, komik dan seni rupa, Krisna menemukan kegemarannya pada genre ‘gore’ ini.

Ketiga seniman ini mempunyai kesamaan pada cara mereka memandang kerja seninya. Krisna menganggap kerja seni sebagai “… the way of freedom”  (Wawancara Rudi Hermawan dengan Krisna, 4 Januari 2009). Sulung memandang seninya sebagai media bermain-main dengan citra robotnya. Codit menganggap seni dengan ringan untuk menyampaikan pengalaman hidup sehari-harinya. Attitude ini saya kira berhasil membawa seni pada posisi yang lebih dekat dengan seniman dan komunitasnya. Seni tidak lagi hasil karya yang tercerabut dari akar dan selera si seniman. Ide-ide seni bisa berasal dari hal-hal yang sifatnya hobby saja. Dari sisi ini, kita pantas berterima kasih pada gerakan lowbrow yang memberikan tempat pada karya-karya yang ‘undefinable’.

Rain Rosidi

website
Digg Delicious Facebook Share to friend
 

© 2007 - 2024 artinasia.com